Jakarta, Kilaskini.com - Beberapa pemerhati politik dan juga hasil survei menyebut, pengaruh Presiden Jokowi di Pilkada Serentak 2024 memudar seiring menguatnya sosok presiden terpilih Prabowo Subianto. Sejumlah pengamat itu menilai, hal tersebut terjadi karena masa jabatan Jokowi segera berakhir.
Hasil survei Litbang Kompas misalnya, merekam preferensi pilihan warga DKI Jakarta dan Banten menjelang pilkada. Mereka pun memotret pengaruh endorse Jokowi dan Prabowo terhadap kandidat-kandidat kepala daerah.
Pada Pilgub Banten, 76,8 persen responden menyatakan mempertimbangkan pasangan calon yang didukung Prabowo. Lalu 69,5 persen responden menyatakan mempertimbangkan pasangan calon yang didukung Jokowi.
Hal serupa terjadi di survei Pilgub DKI Jakarta. Sebanyak 61 persen responden mempertimbangkan calon yang didukung Jokowi. Kemudian, 66,5 persen mempertimbangkan memilih paslon yang didukung Prabowo.
Survei itu juga dibarengi gerakan sejumlah kandidat berkampanye sebelum pemilihan. Sejumlah calon kepala daerah memasang baliho dengan jenis huruf, warna, hingga gaya mirip baliho Prabowo di Pilpres 2024.
Beberapa kandidat, seperti Andra Soni di Banten, juga menampilkan gambar animasi Prabowo di balihonya. Andra juga menulis "Kader Prabowo untuk Banten Maju" pada sejumlah balihonya.
Sementara itu Direktur Trias Politika Strategis Agung Baskoro menilai menguatnya Prabowo Effect disebabkan keberhasilan di Pilpres 2024. Dia menilai Prabowo berhasil menarik simpati masyarakat dengan menawarkan harapan baru lewat program-program seperti makan siang gratis.
Pada saat bersamaan, Jokowi memasuki akhir masa jabatan. Masyarakat, kata Agung, lebih memilih sosok yang bisa melanjutkan program presiden terpilih.
"Harus diakui memang persona ataupun performa kepuasan dari Jokowi ini kan akan memudar seiring dia akan segera turun jabatan. Sehingga memang jawab kenapa Prabowo lebih tinggi kekuatan endorse-nya ketimbang Jokowi," kata Agung saat, Kamis (18/7).
Agung melihat akan terjadi pertarungan sengit bila calon yang didukung Prabowo dengan calon yang didukung Jokowi berbeda. Dia berkata pertarungan itu akan memperlihatkan kekuatan pengaruh dari dua sosok tersebut.
Dia melihat calon yang didukung Jokowi berpotensi kalah bila berhadapan dengan calon yang didukung Prabowo bila merujuk data Litbang Kompas. Namun, semua kembali kepada kekuatan calon-calon tersebut.
"Walaupun tetap ada potensi menang, tergantung kandidatnya karena di pilkada terkadang kan yang diuji sebenarnya ketokohan, kualitas kandidatnya, soal rekam jejaknya, visi-misi-programnya," ucap Aguung.
Menanjaknya Prabowo Effect, ucapnya, mulai disadari sejumlah kandidat. Hal itu membuat beberapa kepala daerah melabeli diri mereka sebagai orang dekat Prabowo, seperti Andra Soni di Banten.
"Saya melihat itu wajar karena bisa mengerek elektabilitas mereka supaya lebih masuk di hati masyarakat. Memang efeknya lumayan, apalagi mereka sekarang masih di bawah Airin, segala daya upaya dilakukan untuk mengerek elektabilitas," ujarnya.
Terpisah, peneliti politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto juga menilai memang Jokowi Effect perlahan luruh. Pengaruh Jokowi semakin turun menjelang akhir masa pemerintahan.
Meski begitu, ia melihat kekuatan Jokowi masih akan berpengaruh pada pilkada di banyak daerah. Menurutnya, Prabowo Effect lebih kuat di daerah-daerah basis Prabowo sejak Pilpres 2014.
"Kalau dikatakan (Prabowo Effect) menguat saya pikir lebih menguat karena di daerah basis tertentu saja sih masih, tapi belum tentu kalau kita lihat di daerah-daerah lain. Ya mungkin Jabar, Banten, DKI, Sumatera Barat, atau mungkin Aceh mungkin bisa, tetapi di daerah lain saya pikir masih masih Pak Jokowi," ujar Wasisto saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (18/7).
Alarm Demokrasi
Wasisto berpendapat memang wajar bila calon-calon kepala daerah melabeli diri mereka di-endorse Prabowo ataupun Jokowi. Menurutnya, hal ini upaya menarik ekor jas atau mengerek elektabilitas lewat popularitas tokoh lain.
Meski demikian, ia khawatir tren menjual Prabowo Effect atau Jokowi Effect ini justru alarm bagi demokrasi. Dia khawatir demokrasi ke depan bergantung pada patronase, bukan adu visi misi.
"Dalam demokrasi lazimnya pemilih melihat adu gagasan, tetapi patronase ini membuat pemilih dipertontonkan dengan adu karisma, adu popularitas yang itu sebenarnya kurang esensial dan justru mereduksi demokrasi itu sendiri," ucap Wasisto.
Agung juga berpendapat senada. Dia khawatir menguatnya Prabowo Effect dan masih bertahannya Jokowi Effect justru akan membawa demokrasi ke arah pengkultusan.
Dia takut politisi menggiring demokrasi ke arah mirip monarki. Segala keputusan politik, terutama pencalonan dalam pemilu, akan digantungkan kepada beberapa sosok yang dianggap mampu mengatrol suara.
"Kalau sudah kultus, artinya semua akan mengharap arahan, rida (dari tokoh tertentu). Padahal kita bukan sistem kerahaan manarki. Seharusnya mengalir saja demokrasi," ujarnya.***