Jakarta– Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia mengalami deflasi sebesar 0,48 persen secara bulanan (month to month/mtm) pada Februari 2025. Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, mengungkapkan bahwa deflasi ini masih dipengaruhi oleh diskon tarif listrik 50 persen yang diberlakukan pemerintah. Namun, ia menekankan bahwa deflasi bulan ini tidak sedalam deflasi Januari 2025 yang mencapai 0,76 persen.
“Deflasi ini terjadi karena diskon listrik masih berlaku hingga Februari 2025. Pelanggan pascabayar merasakan penurunan harga atau diskon tarif listrik ini pada Februari 2025 untuk pembayaran tagihan listrik Januari 2025,” ujar Amalia dalam konferensi pers di Kantor BPS, Jakarta Pusat, Senin (3/3).
Ia menjelaskan bahwa tingkat deflasi pada tarif listrik mencapai 21,03 persen dan memberikan andil deflasi sebesar 0,67 persen. Faktor utama penyebabnya adalah kebijakan diskon tarif listrik sebesar 50 persen yang masih berlangsung.
Selain dampak dari kebijakan diskon listrik, deflasi Februari 2025 juga disebabkan oleh penurunan harga beberapa bahan pangan. Setelah mengalami lonjakan harga pada bulan-bulan sebelumnya, harga beberapa komoditas pangan kini mengalami stabilisasi dan penyesuaian.
Beberapa bahan pangan yang mengalami penurunan harga antara lain daging ayam ras, bawang merah, cabai merah, cabai rawit, tomat, dan telur ayam ras. “Deflasi ini terjadi karena adanya stabilisasi harga dan penyesuaian setelah peningkatan harga beberapa bulan sebelumnya,” jelas Amalia yang akrab disapa Winny.
Deflasi Terjadi di 33 Provinsi
BPS mencatat bahwa 33 provinsi mengalami deflasi pada Februari 2025, sementara lima provinsi lainnya mengalami inflasi. Deflasi tertinggi terjadi di Papua Barat yang mencapai 1,41 persen secara bulanan. Sementara itu, inflasi tertinggi terjadi di Papua Pegunungan yang mencapai 2,72 persen mtm.
Secara tahunan (year on year/yoy), Indonesia mengalami deflasi sebesar 0,09 persen. Berdasarkan tahun kalender, Indonesia mengalami deflasi sebesar 1,24 persen.
Penyumbang deflasi terbesar secara tahunan berasal dari kelompok perumahan, air, listrik, dan bahan bakar rumah tangga. Winny menjelaskan bahwa kelompok ini mengalami deflasi sebesar 12,08 persen yoy dengan andil terhadap deflasi tahunan sebesar 1,92 persen.
Tarif listrik menjadi komoditas dengan andil deflasi terbesar dalam kelompok tersebut, yakni sebesar 2,16 persen yoy. Selain itu, beberapa komoditas pangan juga menjadi penyumbang deflasi tahunan, seperti beras, tomat, dan cabai merah, masing-masing dengan andil sebesar 0,11 persen.
22 Provinsi Alami Deflasi Secara Tahunan
BPS juga mencatat bahwa sebanyak 22 provinsi mengalami deflasi secara tahunan, sementara 16 provinsi lainnya mengalami inflasi. Deflasi tertinggi terjadi di Papua Barat dengan angka 1,98 persen yoy, sedangkan inflasi tertinggi tercatat di Papua Pegunungan yang mencapai 7,99 persen yoy.
Dengan tren deflasi yang masih terjadi, pemerintah dan pelaku ekonomi perlu mencermati dampaknya terhadap daya beli masyarakat dan sektor usaha. Jika deflasi berlanjut, ini bisa menjadi indikator adanya tekanan terhadap permintaan dan konsumsi domestik yang melemah. Sebaliknya, jika harga mulai stabil dalam beberapa bulan mendatang, hal ini dapat menjadi tanda pemulihan ekonomi yang lebih seimbang.